Sunday, November 28, 2004

ketika rasionalitas merasa berkuasa menentukan jalan cerita kehidupan

Manusia makhluk ber-rasio, ber-logika, ber-akal. Sedemikian kuatnya kemampuan akal manusia, sehingga merasa berkuasa untuk menentukan jalan cerita kehidupan.

Pertentangan antara rasio dan kepatuhan-pada-aturan sering kali muncul ketika kita dihadapkan pada pilihan tentang cara yang benar-namun-sulit dan salah-namun-mudah untuk mencapai suatu tujuan.

Sebuah contoh skenario:
Seseorang sedang sangat membutuhkan uang dalam jumlah besar (10 juta) dan mendesak (esok hari, untuk membayar jaminan rumah yang akan disita bila gagal membayar). Di tengah perjalanan ia menemukan sebuah dompet (ada ID pemiliknya) tergeletak dan berisi tepat sejumlah uang yang dibutuhkan.

Reaksi yang wajar dari rasionalitas manusia: cara terlogis untuk mendapat uang 10 juta saat ini adalah dengan mengambil dan memanfaatkan saja uang tak bertuan itu. Tak ada lagi cara terlogis lainnya untuk mendapat 10 juta dalam sehari jika bukan dengan cara itu. Berhutang sebesar itu jaman sekarang jelas susah, apalagi waktunya yang mendesak. Saya pun yakin, inilah cara yang terlogis bagi kapasitas manusia mayoritas.

Dari segi rasionalitas, that's the only way of achieving the objective.
Bagaimana halnya dengan kebenaran cara yang dipakai ? Apakah cara yang dipakai untuk mendapatkan uang sebesar itu, benar ? Ataukah melanggar aturan?

Uang itu jelas milik seseorang. Kita tak berhak atasnya. Mengambil dan menggunakannya sama halnya dengan mengambil milik orang lain tanpa ijin, sama dengan mencuri (?).

This case is a bit tricky..
Mungkin akan ada yang beranggapan, "Itu kan uang nemu. Udah rejeki kita tuh... Toh, kalo bukan kita yang ngambil, bakal diambil orang lain".

Iya kalo itu emang rejeki kita, kalo ternyata itu adalah ujian buat kita ?
Dari mana kita tau itu rejeki ?
Rejeki itu (menurut saya): happens in the right time (waktu), in the right place (tempat) and in the right way (cara).
Kriteria terakhir, the right way-nya, dalam hal contoh di atas, yang nggak tepat.

Dalam kondisi seperti sekenario di atas, dijamin jarang ada yang berani melepaskan kesempatan yang 'berharga' tadi. "Gile loe, kalo kagak pake duit itu, rumah gue bakal dilego!"

Mengapa berpikir bahwa HANYA itulah SATU2nya cara untuk mencapai tujuan? Cara yang paling LOGIS, namun TAK BENAR? Lebih memilih solusi LOGIS ketimbang IDEALISME thd aturan2?
Begitulah manusia, merasa hanya rasiolah yang berkuasa mengatur jalan kehidupannya. Tidak percaya akan adanya sebuah Kuasa yang menjamin bahwa kepatuhan pada aturan akan selalu memberi jalan keluar yang terbaik dan sering tak terduga. TAK TERDUGA, beyond human's thought!
Apalagi dalam hal hidup, mati, jodoh dan rezeki.

Nggak percaya?
Baru kubuktikan tak lama berselang...

When my logic thought: it's the only way to go (to reveal the truth), although wrong...
God, You've proven me wrong. "Just leave the wrong way, do it right, and I'll show you an unpredictable way".
and the truth speaks for itself...
Oh, God, I believe....even more...

11 Comments:

Blogger eka said...

Memilih alternatif utk suatu keputusan, apalagi yg harus disikapi adalah grey area, diperlukan pertimbangan atau wisdom. wisdom bisa diartikan sbg "saat baik atau buruk tampak berimbang".

kalau contoh kasus yg Dilla berikan kebetulan bukan grey area, karena jelas berdsrkan hukum alam, norma, maupun aturan agama, tidak boleh mengambil yg bukan hak kita, apalagi jika di dompet ada ID pemiliknya (semacam petunjuk yg mempermudah kita mengembalikan dompet). Gimana kalau ID pemilik nggak ada? (Wah baru grey area tuh).

Kalau di Jepang, mungkin bisa kita serahkan ke kantor polisi, dan biasanya polisi akan menyeliki dan membuat suatu pengumuman dgn batas waktu tertentu, agar pemiliknya melapor dan mengambil dompetnya kembali (sorry, aku kurang jelas teknisnya).

Gimana kalau kejadiannya di Indonesia??
hehehe... apakah kita akan tetap menyerahkan dan mempercayakannya pada polisi?

5:29 AM  
Blogger dils said...

eka:
Yap, bener banget Mbak... *kebaca nih arahnya, ama Mbak Eka*

Contoh kasus yang aku berikan emang nggak begitu di grey area, makanya aku tambahin keterangan - ada ID di dompet.

Tapi kalopun nggak ada ID, apakah akan mengubah keputusan kita untuk bertindak ? Bukankah makin kuat godaan untuk melakukan 'kesalahan' ?

Intinya, benda itu bukan milik kita, dan kita nggak tau apakah itu rejeki atau ujian. Rejeki belom tentu, kalo ujian sudah pasti. Ada juga aturan yang bisa dipakai sebagai acuan.
"Kalo ada sesuatu yang meragukan, lebih baik kita tinggalkan saja", gitu kalo menurut aturan Islam, kan ?

Ya... lagi2 yang di grey area ini perlu keyakinan, kepada siapa kita bergantung, rasionalitas atau kepada aturan (Agama)?

Terlepas dari kualitas aparat yang kurang bisa dipercaya, paling tidak kita berusaha melepaskan diri dari potensi 'kesalahan' yang mungkin kita lakukan, dengan menuruti aturan.

5:45 AM  
Anonymous Anonymous said...

dompete sak piro dil.. cukup gae madahi 10 jt
koen iku kok mikir sing ga2 ae..
mikiro TA mu iku loh!!!

piss
-nn-

7:36 AM  
Blogger dils said...

-nn-:
huwaaa.. ampunnn...
ada satpam TA beraksi lagiiii...

Iyo yo, dudu dompet sakjane, tas..
kekeke...

7:41 AM  
Anonymous Anonymous said...

mek pingin weruh hasil akhire pengalamanmu dil... entuk rezeki sing luwih gedhe, entuk jodho, opo yok opo?

-eee-

12:12 PM  
Blogger dils said...

eee:
wekeke... rahasia mbak..
tapi percayalah...

5:09 PM  
Anonymous Anonymous said...

kalau mau contoh yg lebih "real": bajak membajak buku, software, musik.. berapa persen di antara kita yang mencari buku lebih cenderung ke Palasari daripada ke Gramedia?? atau siapa yang Microsoft Office di PC pribadinya (bukan di kantor/lab) berlicence asli/resmi?

bukannya ada dalam ilmu fikih tuh, mengambil yg mudharatnya lebih sedikit: beli buku Purcell bajakan atau nggak lulus kalkulus I.
-nobadih-

5:33 PM  
Blogger dils said...

-nobadih-:
Thanks for such a challenging comments.

yeap, contoh yang sangat real, Indeed.
Menghadapi kenyataan ttg bajak membajak, sebenernya juga ada 2 pilihan:
1. cara mudah-tapi-salah:
ikutan aja bajak-membajak meski tau itu salah.

2. cara susah-tapi-benar:
cara ini belom tentu dengan menyatakan: strict sama sekali nggak ngambil pelajaran Kalkulus tanpa membajak buku Purcell. Kan bisa juga:
Mengambil buku Purcell, tanpa membajak buku, bukan berarti harus beli yang asli. Buku kan bisa pinjem di perpus, memang ribet (musti bolak-balik perpus buat perpanjang, dll) - dan inilah yang dimaksud cara susah, tapi cara ini benar.

Dalam hal software bajakan? Bisa aja berusaha cari pinjeman yang asli dulu ?

Benar, "memilih yg mudharatnya terkecil" applicable, tapi untuk: (ini nih, cuman pendapat saya doang, sih..)
-) untuk kasus2 yang sangat2 grey, yang mungkin hukumnya perlu dilihat case-by-case
-) bukan menjadi alasan untuk males to take the hard way, meskipun kita merasa bisa. Contoh: bisa beli yg asli, tapi ikutan mbajak.
-) ketika sudah nggak ada jalan yang lebih baik, alias udah kepepet banget.

Tapi kembali lagi, diantara pilihan itu tergantung kepada kita juga, tentang kesadaran akan level of strictness diri sendiri.

It's you yourself who decide your level of strictness/faith.

uni:
tenang Ren, entar duitnya dateng abis dari Vietnam...
atau somewhere else ???

2:10 AM  
Blogger dils said...

This comment has been removed by a blog administrator.

2:10 AM  
Anonymous Anonymous said...

nemu duit yo rejeki rek,ilang duit yo rejekine sing nemu hehehehe

./paman

2:57 AM  
Blogger dils said...

paman:
wekekeke... ngono yo..
ati2, lho.. duite ono alarm anti maling e

4:21 AM  

Post a Comment

« Home