Saturday, July 25, 2020

Saya rasa tidak ada manusia yang sempurna.

Mungkin jasmaninya yang tidak sempurna.
Jika pun jasmaninya sempurna, mungkin rohaninya yang tidak sempurna.
Jika pun jasmani dan rohaninya sempurna, mungkin atribut kehidupannya yang tidak sempurna.
Jika pun kesemuanya sempurna, mungkin jalan hidupnya yang tidak sempurna.
Bagaimanapun, akan selalu ada ketidaksempurnaan dalam kehidupan manusia.

Tidak mengapa, karena memang sudah seharusnya.
Karena segala uzur ketidaksempurnaan kita itu lah, nanti, di hadapan-Nya,
yang akan menjadi bekal kita untuk mengemis belaskasih-Nya, agar kita diperkenankan masuk ke surga-Nya.
Ya, terutama ketika amal-amal kita nanti telah maksimal tak mampu lagi membantu kita.

Friday, July 24, 2020

Can we have a perfect life?

"Mom, had God ever made a mistake?"
"No, definitely not." I answered it without hesitant. He was quiet, thinking.

Some other time, he asked again, "Did God ever make a mistake? Or is it only human?"
"Of course, only human made mistakes. God never did."
He fell quiet, thinking.

For the n-th time he asked again, "Are you sure that God never made mistakes? If so, what about the babies that we saw on the magazine, which were sick with rare diseases? which were conjoined twins? Were those not God's mistakes when creating those babies?"

Ah, I got it now. It must have been because of the magazine from the children hospital that he was talking about. He must have been thinking a lot about the sick kids after reading it. Previously, I was able to answer his questions without hesitation that God never did a mistake. But now, his extended questions made me rethink about my answers. I was quiet unable to answer it right away.

His questions somehow reminded me of a question on Quora that sounded like this: "If God is really perfect and detailed in all of His creations to the level of DNAs and beyond, why are there kids who are suffering from hard-to-cure diseases, like cancers? Wasn't that easy for God to just make everything perfect?" It was asked by a doctor who works in a children hospital. He said he couldn't stand to see kids suffering and it hurts him every time. I couldn't imagine how harsh it was emotionally to witness the battle of innocent children against their incurable diseases on daily basis. It's not a job for everybody.

I did not know how exactly should I answer my son's questions. It looks similar, but with a twist of emphasise to whether God made mistake or not. Gosh!

Oh well, no matter what the right answers are, I do believe that everything existed with purposes. In this case, I have 2 answers for the questions. First, without such difficult cases, nothing will push human to their limits. If diseases are so tame and easy to cure, human will stop striving for innovations in medicine and its technology. Everybody will get satisfied, happy and easy life, but human brain, traits, and resources are too powerful to be wasted. A strong boat is safe in the harbour, but it's not what a boat is built for. Isn't it?

Secondly, if I were an author, I would want to make my stories become so interesting and rich. I wanted the stories to be colourful, variative, to have sad and happy events, with all possibilities appearing inside. So, rare diseases can be used to achieve it. Sounds selfish? Yes, but, who am I to complain. I did not even own this life but God. He can do whatever He wishes to His 'stories'. Oh, I feel so hopeless thinking this way. I don't like my second answer.

I like the first one. It made me feel that human beings are so empowered to make a change, to keep going forward, to be resilient, to keep innovating, and, more importantly, to be compassionate and to care for each other. It is important to realise that it's just a matter of luck that those diseases can fall upon us, if not on someone else. They have to exist in this world in whatever way. If it does not get them, it could have been on you, me, my kid, your kid, or someone else's. I think it does not only apply to sickness, but also about other misfortunes in life such as poverty, abnormalities, disabilities, disasters, accidents, etc.

So, let's be caring to each other, be thankful of what we've got, and let's lessen each others' burden if we can. It's more as a reminder for me, who was often so forgetful about these.

I do dream of a world where everybody is happy, healthy and lucky, but.... let's reserve it for the Heaven. So that we have something to look forward to when we leave this world.....

Ada nggak sih orang yang nggak takut mati?

Pertanyaan ini sempat mengusik rasa penasaran saya. Terutama sejak bertubi - tubinya berita kematian menghampiri kalangan keluarga dekat saya. Saya jadi sering berdiskusi tentang hal ini dengan suami, dan kesimpulan kami atas kemungkinan jawabannya adalah: kok kayaknya nggak ada. Dalam diskusi kami, kami membahas bahwa kematian itu menakutkan karena adanya faktor ketidakpastian akan apa yang akan terjadi setelahnya. Ketidakpastian itu menakutkan dan membuat khawatir.

Tapi ternyata saya salah!

Tak berapa lama setelahnya, saya tiba - tiba chatting dengan seorang sahabat saya yang kebetulan sudah lama sekali kami tak bertukar kabar. Sahabat saya ini memang seorang yang filosofis. Kami dahulu adalah partner diskusi - diskusi berat tentang hidup dan kehidupan.
Eniwei, beberapa saat baru - baru ini, kami tiba - tiba bertukar kabar, dan belum sempat saya bertanya, sahabat saya ini sudah menjawab pertanyaan yang ingin saya tanyakan. Ya, pertanyaan yang itu. Dan beliau adalah salah seorang yang menyatakan nggak takut dengan kematian. Alasannya, karena beliau sudah pernah merasakan near death experience. Menurutnya, ada suatu perasaan yang lain, yang membahagiakan, ketika itu terjadi. Beliau kemudian juga memberi saya sebuah link tentang itu.

Baru - baru ini, saya menemukan orang kedua yang menjawab pertanyaan ini dengan jawaban yang senada, nggak takut mati. Alasannya: karena mati itu kan mau bertemu dengan Allah, sedangkan Allah kan Maha Baik. Masak sih kita nggak senang bertemu dengan Allah yang Maha Baik?

Dua jawaban yang senada, tapi dari sudut pandang yang berbeda. I love both answers. Kedua penjawab adalah sahabat saya. Hehe, saya ngaku2 sahabat, padahal keduanya senior minimal 10 tahun di atas saya.

Jadi, bagaimana dengan anda?

Tuesday, December 31, 2019

2019 in summary

InsyaAllah akan saya tutup tahun 2019 ini dengan hamdallah. Alhamdulillah 'ala kuli hal....

Di tahun ini banyak kejadian kehilangan di kalangan keluarga saya. Di awal tahunnya saya kehilangan Bapak saya dengan cara yang mendadak, dan di penghujung tahunnya kehilangan Bapak mertua dengan cara yang tidak terlalu mendadak, tapi tetap tak terduga. Pakdhe dari keluarga Ibu saya juga berpulang, tak lama setelah Bapak saya. Bapak guru SD saya yang sangat berjasa mendidik saya pun berpulang tak lama setelah Bapak mertua. Alhamdulillah saya sempat bertakziah ke rumah beliau karena kebetulan sedang berada di Indonesia.

Pelajarannya? Saya makin merasa hidup ini sangat fragile. 
Sebenarnya saya merasakan kefragilan ini sudah sejak beberapa tahun terakhir, ketika saudara kakak ipar dari pihak suami berpulang dalam umur yang masih muda dan cara yang mendadak, serta kawan - kawan seangkatan yang juga berpulang dengan cara yang mendadak. Bagaikan gelas, hidup itu fragile, mudah pecah, tersentuh sedikit saja bisa retak dan hancur berkeping - keping. Dan kita tak kan pernah tahu kapan giliran kita yang akan retak dan hancur. 

Setelah kehilangan Bapak saya, saya pikir ujian kehidupan akan berhenti sejenak untuk memberi saya jeda untuk bernafas. Tapi ternyata tidak, ujian yang besar bertubi lagi menghampiri. Mau gimana lagi, saya sambut saja dengan basmallah dan pasrah. Kali ini dengan ujian kesehatan yang cukup membuat shock. Alhamdulillah ketika itu saya diberi kemudahan untuk menghadapinya dengan merasa 'ringan'. Padahal ketika melihat ke belakang, saya masih merasa bergidik dan takjub bahwa saya bisa merasa cukup tenang menghadapinya. Saya yakin, bukan ujiannya yang kecil, tapi saya yang banyak dibantu dalam menghadapinya. Alhamdulillah... 'ala kuli hal....

Yes, life is indeed so fragile, but let's embrace it for whatever it brings with a big heart.

Saturday, December 21, 2019

Life is getting more fragile nowadays....

Entah mengapa akhir - akhir ini saya merasa bahwa hidup ini terasa semakin fragile, rentan, mudah pecah. Mungkin karena beberapa tahun belakangan ini, saya tiba - tiba kehilangan orang - orang dari kalangan keluarga dekat saya dan kalangan teman - teman yang saya kenal. Kehilangannya pun dengan cara yang mendadak. Di tahun 2019 ini saja, di awal tahunnya, saya kehilangan ayah saya. Kemudian, di akhir tahunnya, saya kehilangan Bapak mertua saya. Setelah ayah saya, Pakde (dari jalur ibu saya) saya menyusul sebulan kemudian. Dalam waktu yang hampir berdekatan dengan Pakde saya, seorang Paklik dari jalur suami saya, pun menyusul dengan cara yang tak kalah mengejutkan, terperosok ke dalam got dan baru diketemukan keesokan harinya. Duh Gusti, taun ini benar - benar penuh berita kehilangan bagi keluarga kami.

Ayah saya sehat secara umum, tidak memiliki keluhan kesehatan yang berarti. Punya darah tinggi, tapi terkontrol. Tidak diabetes. Kolesterol normal. Rajin olah raga. Tidak mengeluhkan sesuatu yang signifikan, yang jelas ya tidak sedang dirawat di rumah sakit, mathang - mathang. Paginya beliau masih sempat bersepeda mencoba jalan tol baru Merr ke Juanda. Secara umum beliau sehat, segar bugar, dapat beraktivitas normal. Serangan jantung! Serangan jantung (cardiac arrest) yang mendadak merenggut nyawanya, dalam 4 menit saja. Tidak punya riwayat penyakit jantung sebelumnya. Hmm... mungkin ada sih hal yang agak mencurigakan dikeluhkan setahun terakhir, yang luput dari perhatian dan kemudian menyebabkan terjadinya ini. Tapi, yah... hal itu tidak pernah mengganggu aktivitasnya sehari - hari.

Lain Bapak, lain pula Bapak mertua. Bapak mertua saya juga seorang yang secara umum sehat. Tidak pernah sakit sampai masuk rumah sakit sebelumnya. Untuk usia yang sudah kepala 8, beliau bisa dikatakan sehat dan gesit. Tapi entah mengapa, sekitar 2 bulan sebelum meninggalnya, keadaan kesehatan beliau merosot drastis. Diagnosis berupa penyakit yang tidak bisa diobati karena faktor usia dan memang berupa penyakit yang harapan hidupnya pun rendah di seluruh dunia.

Demikian pula, berita tentang berpulangnya kawan - kawan yang saya kenal dengan cara yang mendadak, misalnya karena kecelakaan, bencana alam, maupun entah sakit apa,.... membuat saya semakin merasa bahwa hidup semakin fragile. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi bahkan pada keesokan hari. Oh, bahkan pada sejam kemudian, atau beberapa menit kemudian.

Kalau menurut suami saya, hal ini wajar saja, karena usia kami yang sudah tidak muda lagi, maka orang tua dan yang seangkatan mereka pun sudah lanjut usianya, juga kawan - kawan kami pun juga sudah tidak muda lagi. Adalah hal yang wajar jika semakin lanjut usia, semakin besar pula kemungkinan untuk berpulang. Hmm... ada benarnya. Tapi saya nggak ingat pernah kehilangan pakde atau Budhe pada usia SD. Sedangkan anak saya, sudah kehilangan seorang Pakdhe nya 2 tahun lalu dan kehilangan dua orang kakeknya tahun ini. Saya baru kehilangan kakek saya waktu saya kelas 6 SD. Well, mungkin ini karena saya telat punya anak saja sih.


Entahlah, hidup yang semakin fragile ini membuat saya berpikir saya harus bagaimana secara saya ini juga bukan orang yang sehat - sehat amat. Saya percaya, umur sudah ditentukan bahkan sebelum manusia dilahirkan. Mau mikirin sampe mumet tentang umur kok ya rasanya nggak ada gunanya. Ya weslah, mungkin yang terbaik ya pasrah aja. Woles aja, berusaha berbuat yang terbaik semasa hidup, dan siap - siap bekal untuk dibawa ke akhirat.

Nah, bagus juga hal begini ditulis, biar jadi pengingat kalo pas khilaf. Tapi nulis atau baca tentang beginian bikin jadi depressing nggak sih, gaes?

Sunday, August 11, 2019

Hari Raya Idul Adha 1440 H

Malam ini, 6 th lalu, adalah malam yg sangat berkesan bagi saya. 9 Dzulhijah malam, kami menjalani malam sampai terbit fajar di Musdalifah, setelah siangnya kami wukuf di Padang Arafah. Musdalifah ini jg sebuah padang gurun pasir berbukit-bukit, seperti halnya Arafah. Sebagai salah satu rangkaian ibadah haji, kami harus bermalam di sana. Kami tiba di sana sudah gelap. Saya tak membayangkan sebelumnya bahwa malam ini akan begitu berat. Pertama, di sana kami bermalam beratapkan langit, beralaskan tanah (bolehlah memakai tikar). Ya, itu berlaku untuk semua orang, tidak terkecuali. Kedua, waktu kami tiba, semua tempat sudah dipenuhi orang. Benar-benar penuh dan padatnya masyaAllah. Sebuah padang yg begitu luasnya, bisa padat oleh manusia yg bergelimpangan, ataupun duduk, untuk beristirahat. Saya dan suami bersama sepasang pasutri terlepas dari rombongan. Ya, untungnya kami memang sudah biasa beraktivitas dlm rombongan kecil, jadi kami tidak panik. Kami berempat sepakat untuk selalu bersama di Musdalifah. Malam itu, demi mendapatkan sepetak tempat utk duduk saja susahnya minta ampun. Semua sudah tampak penuh, bahkan daerah lereng perbukitannya pun ditempati orang. Kok ya nggak ngglundung. Kadang kami dapat tempat utk duduk sejenak, tapi ternyata kami harus pindah karena ternyata orang memerlukan tempat itu sbg jalan berlalu lalang. Setelah lama berjalan utk mencari tempat istirahat, itupun dengan harus berhati2 agar tidak menginjak kepala orang, dan anggota2 badan lainnya tentunya, kami akhirnya menemukan tempat kosong. Rupanya ada rombongan yg baru saja meninggalkan tempat itu begitu saja, kamipun ditinggali tikar dan kerdus agak tebal. Alhamdulillah. Kami baru tersadar bahwa lokasi kami sudah termasuk di lereng bukit, agak tinggi. Pantas saja relatif lebih sepi drpd di bawah. Jangan ditanya jarak kami ke toilet, jauh sekali. Kalo pergi ke toilet entahlah kami dpt kembali ke tempat itu lg atau tersesat. Untungnya malam itu saya tdk perlu ke toilet. Klo iya, bisa berabe. Mana antri toiletnya bisa minim 30 menitan konon.

Dengan berbekal botol spray, kami berwudlu, lalu sholat. Setelah itu saya kelaparan. Untung masih ada bekal makanan di tas. Tantangan berikutnya adalah tidur. Saya yg dasarnya sulit tidur, di tempat yang seperti itu, lebih parah lagi. Tidur di tanah berbatu, ramai orang berlalu lalang hampir melangkahi kami, berdebu, mana bisa saya tidur? Saya lihat, kawan saya bisa tidur nyenyak. Iya, dia dokter, sepertinya dokter punya skill khusus utk bisa tidur di mana saja. Hebat. Suami saya jg tampak tidur, tapi tyt enggak jg katanya. Menjalani malam itu, waktu seakan lambat berjalan, rasanya fajar lama menjelang. 

Kalau ditanya, bagian mana yg paling berkesan buat saya dr rangkaian ibadah haji. Jawabnya: mabid di Musdalifah. Malam yg penuh hikmah. Malam yg rasanya merontokkan segala aspek keduniawian. Di sana tak ada bedanya, kaya miskin, semua duduk di tempat yg sama, beralaskan tanah, beratapkan langit. Juga, semua orang harus berjuang mendapatkan sepetak tempat untuk bisa duduk ataupun beristirahat. Ah ya, mungkin tdk semua merasakan hal ini krn saya sempat melihat ada rombongan yg memiliki tim yg mereserve kapling tempat di daerah yg cukup strategis, di dataran rendah, dekat toilet. Sepertinya sih rombongan dari Indonesia atau Malaysia. Juga, ada yg mengambil kemudahan (rukhshoh) utk tidak menghabiskan malam di sana sampai fajar. Lepas tengah malam mereka sudah beranjak menuju Mina, terutama utk org yg sudah lanjut usia. Kebetulan kami memilih utk stay sampai fajar. Semuanya sah2 saja, sesuai apa yg terbaik bagi masing2 saja.

Hikmah kedua dr Musdalifah adalah saya jadi membayangkan beginilah situasi hari kebangkitan menunggu pengadilan ketika kiamat kelak. Terbayang rasanya padat, penuh sesak, letih, mau cari tempat duduk aja sulit, dan penantian yg panjang rasanya. Masih untung di Musdalifah, kami akhirnya bs duduk, dan fajar yg dinanti jelas kapan datangnya. Pada hari kiamat kelak? Entah.

Alam bawah sadar ttg situasi Musdalifah ini kadang masih sesekali muncul terbawa mimpi. Dalam mimpi tampak kondisi manusia yg bergelimpangan dan saya yg berusaha mencari tempat di antaranya. Ketika bangun, rasanya depresi. Kadang saya terpikir, apa begini jg rasanya cari tempat pemakaman utk diri ini kelak. 

Kok bukan wukuf di Padang Arafah sbg pengalaman yg berkesan? Klo bagi saya Wukuf itu suasananya romantis, apalagi ketika menjelang fajar terbenam. Saat itu adalah saat yg paling sendu, melankolis. Semua orang keluar dari tenda, menatap keindahan matahari yg terbenam, seraya memanjatkan segala doa. Romantis sekali. Mudah dilalui. Yg berkesan bagi saya adalah bagian yg paling sulit. :D

Bagaimanapun saya bersyukur bisa survive malam itu. Paginya, kami berhembus kembali ke perkemahan di Mina. Jadwal hari itu adalah melempar jumroh hari pertama dan ke Makkah utk tawaf dan sa'i. Jadwal yg cukup padat dan melelahkan. Kondisi saya rasanya drop, lelah fisik karena perjalanan kaki yg panjaaaang, lelah hati karena seringnya ada antrian yg panjang, kurang tidur, plus berbagai virus dan bakteri padang pasir yg cukup ganas siap menyambut. Dan rasanya, tidak ada dr rombongan kami yg sehat penuh setelah melalui malam itu. Memang sepertinya ibadah haji itu sangat memerlukan kondisi fisik yang prima dan stok kesabaran yang besar. 'Ala kulli hal, alhamdulillah.

Pagi ini 10 Dzulhijah 1440 H. Saya ingin mengucapkan Selamat Idul Adha, Taqobbalallahu minna wa minkum. Semoga Allah menerima segala amal ibadah kita. Aamiin.

Thursday, July 18, 2019

Program Literasi Dini

Sebenarnya, sudah lamaa sekali saya ingin menuliskan tentang topik ini, akan tetapi.... jangankan menulis, membaca saja saya sulit.

Menurut sebuah buku yang pernah saya baca, "Making Sense of Neuroscience In The Early Years" oleh Sally Featherstone, Bahasa Inggris merupakan salah satu bahasa yang kompleks untuk mempelajarinya. Karena itu, penguasaan kemampuan literasi pada anak-anak berbahasa Inggris juga membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan pada anak-anak yang berbahasa lebih sederhana daripada bahasa Inggris. Di buku tsb. dicontohkan Bahasa Finlandia merupakan bahasa yang lebih sederhana, oleh karena itu kemampuan literasi anak - anak Finlandia tercapai pada usia yang lebih muda. Disebutkan bahwa anak berbahasa Inggris, rata-rata, baru memiliki pemahaman atas apa yang dibacanya pada usia 8-10(?) tahun.

Bahasa Inggris ini tergolong kompleks karena terdapat kekurang-konsistenan antara tulisan dan cara membacanya. Bayangkan, satu huruf bisa dibaca dengan berbagai macam bunyi, tergantung pada kata apa. Misalnya saja huruf 'c'. Dia bisa dibaca seperti huruf 'k' pada 'car', huruf 'ch' pada 'chair', atau 's' pada 'ice'. Mumet bukan? Contoh lain, angka 1, 'one' dibaca 'wan', dan bawang, 'onion', kenapa tidak dibaca 'wanion'?? Dan anak kecil mana yang ngeh kalo 'one' itu ditulisnya bukan 'wan'. Complicated is rumit, ya kan sodara2?

Karena saking rumitnya pembelajaran bahasa Inggris ini, maka dikejarlah penguasaan literasi ini sedini mungkin, dan metodanya pun dibuat semenarik mungkin untuk anak-anak. Dibuatlah beberapa program literasi dini, diantaranya: pembagian buku - buku bacaan dan sosialisasi cara berinteraksi antara anak dan pengasuh dalam melatih literasi. Pembagian buku bacaan dimulai ketika anak baru lahir procot, diberikan lewat health visitor ketika kunjungan rutin ke rumah sang bayi. Selain itu adalah sesi Bookbug. Sesi Bookbug ini adalah sesi belajar lewat bermain dan bernyanyi bersama anak - anak berdurasi 30 - 45 menit. Sesi ini bisa diikuti oleh anak - anak dari 0 sampai 5 tahun. Biasanya sesi dibagi menurut 2 kelompok umur, 0-3 tahun dan 3-5 tahun. Sesi ini biasanya diadakan rutin seminggu sekali di perpustakaan setempat.

Sebenarnya, Bookbug ini bukanlah melulu untuk membantu anak mulai belajar membaca, akan tetapi juga untuk membentuk ikatan emosional antara anak dan pengasuh, sosialisasi antar anak dan antara anak dan orang dewasa lain, dan sosialisasi antara pengasuh dan pengasuh lain. Banyak aspek yang memang hendak dicakup oleh Program Bookbug ini. Luar biasa idenya! Patut kita contoh untuk Indonesia, ya nggak?

Saya pribadi sangat terbantu oleh keberadaan program ini. Terutama di masa - masa awal pindah ke UK. Sesi Bookbug ini membantu saya dan anak saya untuk bersosialisasi. Saya belum terlalu terpikir untuk mengajari anak saya membaca, yang penting anak saya punya sarana bergaul. Itu saja dulu.

Nah, lain kali akan saya ceritakan ngapain aja sih selama durasi 30-45 menit itu di Bookbug. Saya pernah mengikuti pelatihan Bookbug session leader. Keren yak! Iya, tapi belum pernah dipakai untuk nge-lead session beneran, hehe... Tapi pelajaran yang saya petik dari pelatihan tersebut adalah tentang filosofi dibalik sesi Bookbug. Mengapa begini dan begitu. Sangat menarik! Tertarik? InsyaAllah juga akan saya tulis kapan - kapan. Kapan? Kapan - kapan. 😜

Kalau dipikir - pikir, kenapa sih pemerintah Inggris ini bela-belain menggelontorkan dana besar untuk anak yang bahkan usianya masih dibawah umur 5 tahun? Bahkan untuk anak masih bayi, yang boro - boro mau belajar baca, nangis aja kadang masih fales nadanya. Beneran perlu dana besar banget! Buku2nya, peralatan2nya, organisasinya, pelatihan - pelatihannya, evaluasi dan monitoringnya. Jawabnya adalah karena mereka percaya bahwa tiap sen uang yang mereka investasikan dengan tepat bagi anak sedini mungkin, akan mampu menghemat jutaan bahkan milyaran poundsterling untuk mengatasi permasalahan yang akan muncul ketika anak - anak tersebut telah dewasa. Pendidikan usia dini adalah koentji! Yang bagus - bagus begini kan bisa dicontoh ya gaes? Semoga ini bisa jadi masukan buat pemerintah.

Salam literasi!

Wednesday, May 15, 2019

Summery spring day!

Hari ini adalah hari yang panas untuk ukuran musim semi. Sudah diramalkan sejak minggu lalu bahwa dari weekend hingga hari Rabu ini cuaca akan hangat dengan puncaknya hari ini mencapai 23 C. Cukup hangat untuk di sini. Weekend kemaren kami habiskan dengan bersepeda. Iya, biarpun puasa, kami keukeuh ingin sepedahan. Cuaca hangatnya itu loh, yang sangat sayang untuk dilewatkan hanya di rumah saja.



Dengan suhu segitu, orang - orang sudah tidak berjaket lagi. Malah pada pakai kaos dan celana pendek. Saya sendiri baru hari ini berani tidak berjaket ketika keluar rumah. Cuman berpakaian seperti ketika di Indonesia saja. Blus batik, celana jeans, tanpa jaket. Hore!

Sebenarnya ini cuaca ideal banget. Bermatahari hangat, tapi masih ada semilir angin. Kalo kita di bawah bayang - bayang, baru deh terasa dingin. Lebih nyaman berada di bawah terpaan sinar matahari. Lumayan, sekali - sekali panen vitamin D.

Jadi, cuaca pertengahan Mei biasanya sudah mulai hangat. Sebelum itu, masih dingin, karena mendung dan angin. Tapi dasar Skotlandia, cuaca agak sulit diprediksi. Kalo hujan, mendung, biarpun musim panas, tetep aja terasa dingin, meskipun gak bikin menggigil. Bagi yang suka cuaca hangat, cocok untuk datang ke Skotlandia mulai pertengahan Mei hingga Agustus. Setelah itu, cuaca mulai mendingin.

Sebenarnya, bulan April lalu juga sudah ada hari yang panas semacam ini. Tapi nggak lama, cuman sehari - dua hari saja. Kami dan kawan - kawan sempat barbeque-an di taman kota. Coba kalo sekarang lagi gak puasaan, mungkin bisa tau - tau barbeque - an juga deh.

So, let's enjoy the day while the nice weather lasts!

Labels: